Senin, 31 Oktober 2011

Manjemen Keuangan Daerah Pra dan Pasca Reformasi


A.    Pendahuluan
Akuntansi keuangan (pemerintahan) daerah di Indonesia merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang mendapat perhatian besar dari berbagai pihak semenjak reformasi tahun 1998. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang “mereformsi” berbagai hal, termasuk pengelolaan keuangan daerah. Reformasi tersebut wwalnya dilakukan dengan mengganti Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 25 1999 yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 1956 mengenai keuangan keuangan negara dan daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut berisi mengenai perlunya dilaksanakan otonomi daerah sehingga UU tersebut sering disebut dengan UU Otonomi Daerah. Otonomi Daerah adalah wewenang yang dimiliki daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri  berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang mendasari perlunya diselenggarakan otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar negeri. Kondisi di luar negeri mengidentifikasikan bahwa rakyan menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Dilain pihak, keadaan diluar negeri menunjukkan semakin maraknya globalisasi yang menurut daya saing pemerintah daerah (pemda). Daya saing pemda ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan pemandirian pemda. Selanjutnya, peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah.
Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah tersebut, maka perubahan yang cukup mendasar dalam mengelola daerah, termasuk dalam manajemen atau pengelolaan keuangan daerah, dapat diduga terjadi. Hal ini disebabkan karena manajemen keunagn daeah merupakan alat untuk mengurus dan mengatur rumah tangga pemda.
Perkembangan reformasi terus berlanjut dengan diterbitkan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai perubahan dan penyempurnaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor  33 sebagai perubahan dan penyempurnaan UU Nomor  25 Tahun 1999. Akibatnya, sebagai konsekuensi, peraturan perundangan dibawahnya juga harus disesuaikan. Perubahan manajemen keuangan daerah pada era pra dan pascareformasi akan diuraikan dalam pembahasan berikut.

B.     Manajemen Keuangan Derah di Era Prareformasi
Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era prareformasi dilaksanakan terutama berdasarkan UU Nomor 25 Thaun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Derah. Pengertian Daerah adalah daerah tingkat I yaitu profinsi dan daerah tingkat II yaitu kabupaten atau kotamadya. Di samping itu, terdapat beberapa peraturan lain yang menjadi dasar pelaksanaan manajemen keuangan daerah pada era prareformasi, antara lain:
1.      Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggung Jawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah.
2.      PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusnan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan APBD.
3.      Keputusan Mentri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 900-099 Tahun 1980 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah.
4.      Peraturan Mentri Dalam Negri (Permendagri) Nomor 2 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBD.
5.      UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
6.      Kepmendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan usunan Perhitungan APBD.
Berdasarkan peraturan diatas, dapat disilmpulakn beberapa ciri pengelolaan keuangan daerah di era prareformasi, antara lain:
1.      Pengertian pemda adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1975). Artinya tidak terdapat pemisahan secara kongkret antara lembaga eksekutif dan legistatif.
2.      Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban mkepala daerah (pasal 33 PP Nomor 6 Tahun 1975).
3.      Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas:
a.       Perhitungan APBD
b.      Nota Perhitungan
c.       Perhitungan kas dalam pencocokan antara sisa perhitungan.
Dilengkapi dilengkapi dnegan lampiran Ringkasan Perhitungan Pendapatab dan Belanja (PP Nomor 6 Tahun 1975 dan Kepmendagri Nomor 3 Tahun 1999)
4.      Pinjaman, baik pinjaman pemda maupun pinjaman BUMD, diperhitungkan sebagai pendapatan pemda, yang dalam struktur APBD, menurut Kepmendagri Nomor 903-057 Thaun 1988 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah, masuk dalam pos Penerimaan Pembangunan.
5.      Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah pemda yang terdiri atas kepala daerah dan DPRD, belum melibatkan masyarakat.
6.      Indikator kinerja pemda mencakup:
a.       Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b.      Perbandinagn antara standar biaya dengan realisasinya
c.       Target dan persentase fisik proyek
Hal ini tercantum dalam penjabaran perhitungan APBD (PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyususnan Perhitungan APBD).
7.      Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD, baik yang dibahas DPRD  maupun yang tidak dibahas DPRD, tidak mengandung konsekwensi terhadap masa jabatan kepala daerah.

C.    Manajemen Keuangan Daerah di Era (Pasca) Reformasi Periode 1999-2004
Era reformasi ditandai dengan pergantian dari Orde Baru kepada Orde Reformai pada tahun 1998. Dalam manajemen keuangan daerah, reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk merealisasikannyam pemerintah pusat mengeluarkan dua peraturan yaitu UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Puat dan Daerah.
Setelah UU tersebut disahkan, pemerintah juga mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan, di antaranya:
1.      PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimabangan.
2.      PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3.      PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah.
4.      PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
5.      Surat Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum Penyusunan dan Pelaksanaan APBD tahun Anggaran 2001.
6.      Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanaja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan  Perhitungan Angggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
7.      UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
8.      UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, maanajemen keuangan daerah di era reformasi memiliki karakteristik yang berbeda dari pengelolaaan keuangan daerah di era prareformasi, seperti:
1.      Pengertian daerah adalah profinsi dan kota atau kabupaten. Istilah pemda tingkat I dan II sera kotamadya tidk lagi digunakan.
2.      Pengertian pemda adalah kepala daerah beserta perangkat lainnya. Pemda yang dimaksut disini adalah bada eksekutif, sedang badan legislatifnya adalah DPRD (Pasal 14 UU Nomor 22 Tahun 1999). Jadi, terdapat pemisahan yang nyata antara lembaga legislatif dan eksekutif.
3.      Perhitungan APBD menjadi satu dnegan pertanggungjawaban kepala daerah (Pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000).
4.      Bentuk laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas:
a.       Laporan Perhitungan APBD
b.      Nota Perhitungan APBD
c.       Laporan Aliran Kas
d.      Neraca Daerah
Dilengkapi dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur rencana strategi-renstra (Pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000)
5.      Pinjaman APBD tidal lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukkan hak pemda), tetapi masuk dalam pos Peneriman (yang belum tentu menjadi hak pemda).
6.      Masyarakat termasuk dalam unsur-unsur penyusun APBD, selain pemda yang terdiri atas kepala daerah dan DPRD.
7.      Indikator kinerja pemda tidak hanya mencakup:
a.       Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b.      Perbandingan antara standar biaya dan realisasinya
c.       Target dan persentase fisik proyek
tetapi juga meliput standar pelayanan yang diharapkan.
8.      Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya adalah Laporan Perhitungan APBD  diabahas oleh DPRD dan mengandung konsekwensi terhadap masa jabatan kepala daerah apabila mengalami penolakan dari DPRD.
9.      Digunakannya akuntansi dalam pengelolaan daerah.
Diantara peraturan-peraturan tersebut diatas, peraturan yang mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD) adalah PP Nomor 105/2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Perubahan mendasar tersebut adalah adanya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran. Secara umum, terdapat enam pergeseran dalam pengelolaan anggaran daerah, yaitu:
a.       Dari vertical accountability menjadi harizontal accountability.
Sebelum reformasi keuangan daerah, pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran daerah lebih ditujukan pada pemerintah yang lebih tinggi. Dengan adanya reformasi, pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada rakyat melalui DPRD.
b.      Dari traditional budget menjadi performance budget.
Proses penyusunan anggaran dengan sistem tradisional menggunakan pendekatan inkremental dan “line item” dengan penekanan pada pertanggungjawaban setiap input yang dialokasikan. Reformasi keuangan daerah menuntut penyusunan anggran menggunakan pendekatan pertanggungjawaban tidak sekedar pada input, tetapi juga pada output dan outcome.
c.       Dari pengendalian dan audit keuangan, ke pengendalian dan audit keuangan serta kinerja.
Pada era prareformasi, pengendalian dan audit keuangan dan kinerja telah ada, namun tidak berjalan dengan baik. Penyebab hal ini adalah karena sistem anggaran tidak memasukkan kinerja. Pada era reformasi, karena sistem penganggaran menggunakan sistem penganggaran kinerja, maka pelakssanaan pengendalian dan audit keuangan serta kinerja akan menjadi lebih baik.
d.      Lebih menerapkan konsep value for money.
Penerapan konsep value for money lebih dikenal dengan konsep 3E (Ekonomis, Efisien, dan Efektif). Artinya dalam mencapai maupun menggunakan dana, pemda dituntut selalu menerapkan prinsip 3E tersebut. Hal ini mendorong pemda untuk selalu memerhatikan tiap rupiah dana yang diperoleh dan digunakan.
e.       Penerapan konsep pusat pertanggungjawaban.
Penerapan pusat pertanggungjawaban dilakukan dengan memperlakukan:
                                                                  i.      Dinas pendapatan sebagai pusat pendapatan (revenue center)
Pusat pendapatan adalah unit dalam suatu organisasiyang perstasinya diukur dari kemampuannya dalam menghasilkan pendapatan.
                                                                ii.      Bagian keuangan sebagai pusat biaya (expense center)
Pusat biaya adalah unit organisasi dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari kemampuannya mengefisienkan pengeluaran
                                                              iii.      BUMD sebagai pusat laba (profit center).
Pusat laba adalah unit dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan infestasi yang ditanamkan dalam unit organisasi tersebut.
f.       Perubahan sistem akuntansi keuangan pemerintah.
Reformasi sitem akuntasi keuangan pemda merupakan “jantung” dari reformasi keuangan daerah karena sistem inilah yang akan menghasilkan outpu yang sesuai dengan PP Nomor 105 Tahun 2000. Sistem akuntansi keuangan pemerintahan selama ini berjalan menggunakan sistem pencatatan tungggal (single entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas (cash basis). Di era reformasi keuangan daerah, sistem pencatatan yang digunakan adalah sistem ganda (double entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas modofikasi (modified cash basis) yang mengarah pada basis akrual. Basis kas modifikasian diatur dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, sedang basis akrual diatur dalam uu Nomor 1 Tahun 2004.
Sejalan dengan perubahan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta perkembangan “politik” di lapangan, maka salah satu perubahan mendasar adalah disejajarkannya posisi eksekutif dan legislatif di daerah. Hal ini ternyata sangat penting guna kelancaran pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh. Bentuk kesejajaran ini adalah legislatif tidak dapat begitu saja menjatuhkan posisi kepala daerah karena mengelolaan APBD.
Salah satu pergeseran pengelolaan APBD berdasarkan PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 serta aturan-aturan  penerusnya (penggantinya) adalah timbulnya perubahan sistem akuntansi keunagan pemerintahan. Inti dari perubahan ini adalah tuntutan dilaksanakan “akuntansi” dalam pengelolaan keunagan daerah oleh pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, bukan “pembukuan” seperti yang dilaksanakan selama ini. Hal ini disebabkan karena yang terjadi pada era parareformasi adalah pembukuan yang belum bisa dikatakan akuntansi.
Sistem administrasi keuangan daerah dikatakan belum akuntable karena penerimaan dan pengeluaran dilakuakan oleh bendaharawan, sehingga kegiatan yang dilakuakannya merupakan kegaiatan Perbendeharaan. Sedangkan bagian keuangan (pembukuan) menangani masalah pembukuan. Pembukuan yang dilakuakn disini belum dapat dikatakan akuntansi karena:
1.      Sistem pencatatan yang dilakukan masih sangat sederhana, yaitu sistem tata buku tunggal
2.      Menggunakan dasar pencatatan kas (cash basis) yang memiliki kelemahan
Di samping itu, selama ini kegiatan perbendaharaan jauh lebih dipentingkan dibandingkan pembukuan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kursus yang diadakan untuk para bendaharawan daripada yang diadakan untuk tenaga pembukuan. Padahal, pembukuan yang dilakukan dibagian inilah yang menangani proses “akuntansi” unruk menghasilja output yang dikehendaki oleh reformasi keunagan daerah, terutama PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Selanjutnya, reformasi terus berlangsung dan perubahan kembali terjadi.
D.    Reformasi Lanjutan Periode 2004-Sekarang
Sejalan dengan diterbitkannya paket UU tentang Keuangan Negara , yakni UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Neagara, dan UU Nomor 15 tentang Pemerikasaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maka sebagai konsekuensinya adalah penyesuaian dan amandemen atas peraturan perundangan sebelumnya. Dalam kaitan pemerintahan pengelolaan keuangan daerah, maka diterbitkan UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1999. Selain itu muncul pula peraturan perundangan yang diamanatkan oleh UU terdahulu, seperti PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
PP yang berpayung hukum dengan uu yang telah diamandemen tentu harus menyesuaian dan atau mengalami perubahan atau revisi. PP Nomor 105 Tahun 2000, misalnya diganti dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Begitu pula dengan peraturan yang lebih teknis, seperti Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, diganti dengan dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
  Beberapa perubahan mendasar dalam peraturan perundangan terbaru adalah dikenalkannnya kembali Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran. Selain itu, pengelompokan jenis belanja lebih menekankan pada belanja langsung dan belanja tidak langsung. Penegasan perlunya penyusunan sistem akuntansi keuangan daerah juga merupakan salah satu perubahan. Selain itu, penerapan konsep Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Multi Terms Expenditure Framework (MTEF) merupakan perubahan yang dikehendaki mulai tahun anggapan 2009.

E.     Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Multi Terms Expediture Framework
Kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) atau multi-term expenditure framework (MTEF) merupakan konsep terbaik dalam pengelolaan keuangan publik (public expenditure management/PEM) saat ini, khususnya di negara berkembang yang memiliki kelemahan dalam manajemen keuangan publiknya. MTEF mengintegrasikan kebijakan ekonomi makro dan fiskal dalam beberapa tahun anggaran, dan menghubungkan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning), dan penganggaran (budgeting) secara komprehensif.
1.        Tujuan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah atau Multi Terms Expenditure Framework
Secara umum, tujuan multi-term expenditure framework  (MTEF) adalah:
1.      Memperbaiki situasi fiskal secara makro, sehingga dapat menurunkan defisit anggaran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan lebih rasional dalam menjaga stabilitas ekonomi.
2.      Meningkatkan dampak kebijakan pemerintah dengan cara mengaitkan prioritsa dan kebijakan pemerintah dengan program-program yang dilaksanakan
3.      Meningkatkan kinerja dan dampak program, salah satunya dengan cara mengubah kultur birokrasi dari administratif ke manajerial
4.      Menciptakan fleksibilitas manajerial dan inovasi sehingga tercapai rasio cost/output yang lebih rendah, peningkatan efektifitas program/kebijakan, dan meningkatkan prediktabilitas sumberdaya.
Menurut World Bank (1998) tujuan MTEF adalah:
1.      Mengembangkan keseimbangan dalam kebijakan ekonomi makro dan penegakan disiplin fiskal;
2.      Mengalokasikan sumberdaya sektoral secara lebih baik;
3.      Prediktabilitas anggaran yang lebih baik untuk setiap urusan atau kewenangan;
4.      Akuntabilitas politik yang lebih baik untuk outcome pengeluaran publik dalam suatu proses pembuatan keputusan yang legitimate;
5.      Menghasilkan pengambilan keputusan penganggaran yang lebih kredibel.
World Bank (1998: 47-51) menyebutkan enam tahapan dalam MTEF, yakni:
1.      Pembentukan kerangka ekonomi makro dan fiscal: Tahap ini dicirikan dengan pembentukan model ekonomi kamro yang dapat pemproyeksi pendapatan dan pengeluaran dalam jangka menengah (multi-year);
2.      Pengembangan program-program sektoral, yang dilaksanakan dengan melakukan: (a) kesepakatan atas objectives, outputs, dan activities setiap sektor, (b) mereviu dan mengembangkan program dan sub-program, dan (c) membuat estimasi kebutuhan biaya untuk masing-masing program.
3.      Pengembangan kerangka pengeluaran sektoral, yakni dengan menganalisis trade-off yang terjadi antar-sektor dan di dalam sektor sendiri dan membangun konsensus terkait dengan pengalokasian sumberdaya dalam jangka panjang (stratejik).
4.      Mendefinisikan alokasi-alokasi sumberdaya sektoral dengan cara menentukan budget ceilings sektor untuk jangka menengah (3-5 tahun).
5.      Penyiapan anggaran sektoral: program-program sektoral yang bersifat jangka menengah didasarkan pada budget ceilings.
6.      Pengesahan MTEF secara politik, yakni melalui pemaparan estimasi anggaran ke kabinet dan parlemen untuk disahkan.
2.      KPJM/MTEF dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Indonesia
Pasal 1 angka 33 Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 dan pasal 1 angka 35 Peraturan Menteri Dalam Negeri No13/2006 menyatakan: Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.
Prakiraan maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. Konsep yang juga tidak dapat dipisahkan adalah anggaran terpadu (unified budgeting), yang didefinisikan sebagai penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat ditemukan beberapa hal penting dalam KPJM, yakni:
1.      Penggunaan pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan. Kebijakan dibuat untuk memecahkan masalah atau memenuhi suatu kebutuhan yang teridentifikasi dan disepakati oleh pelaksana (eksekutif) dan lembaga perwakilan (legislatif). Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia, kebijakan ini disebut Kebijakan Umum APBD (KUA), yang dilengkapi dengan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan harus disepakati dulu dalam bentuk penandatanganan Nota Kesepakatan antara kepala daerah dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam persepktif lebih luas, klausul kebijakan tentang pelaksanaan suatu program/kegiatan yang melebihi satu tahun anggaran dicantumkan dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
2.      Pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran. Tahun anggaran dengan menggunakan durasi satu tahun kalender, yakni 1 Januari sampai 31 Desember, dipandang tidak selalu memadai untuk menampung kebutuhan daerah dalam mencapai outcome dari suatu program/kegiatan. Untuk itu dimungkinkan suatu program/kegiatan dilaksanakan melebihi waktu satu tahun anggaran.
3.      Implikasi biaya atau kebutuhan dana. Kebutuhan biaya untuk pelaksanaan program/kegiatan yang melebihi waktu satu tahun harus diestimasi sejak awal (bersifat indikatif). Hal ini secara implisit telah diprediksi ketika target kinerja (outcome) yang hendak dicapai pada akhir priode jangka menengah (multi-year) telah dapat ditentukan, baik untuk akhir periode program maupun untuk masing-masing tahun pelaksanaan.
4.      Memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui. Hakikat dari penganggaran berbasis kinerja bukanlah periode pelaksanaan anggaran, tetapi hasil (outcome) yang hendak dicapai. Outcome merupakan solusi atas masalah/kebutuhan yang dihadapi pemerintah dan/atau masyarakat, sementara periode anggaran adalah mekanisme untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran. Dengan demikian, kesinambungan pelaksanaan program/kegiatan selama beberapa tahun anggaran merupakan keniscayaan untuk mencapai hasil (outcome) yang telah ditetapkan.
5.      Menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. Besaran alokasi anggaran yang telah diestimasi sejak awal akan memudahkan dalam penyusunan anggaran periode selanjutnya. Pencapaian tahun berjalan akan menjadi dasar pengalokasian tahun mendatang.
6.      Terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan. Hal ini bermakna bahwa pelaksanaan program/kegiatan dapat mencakup semua jenis belanja, yakni belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal, yang dianggarkan dalam satu dokumen yang sama. Pemda membuat aturan khusus terkait besaran, komposisi dan proporsi jenis belanja yang dibutuhkan dalam suatu program/kegiatan.
F.     Keuangan Daerah, Manajemen Keuangan Daerah, dan Akuntansi Keuangan Daerah
Keuangan daerah dapat diartikan sebagai “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara maupun daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku” (Mamesah,1995). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1.      Yang dimaksud dengan semua hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah, seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hal tersebut dapat menaikkan kekayaan daerah.
2.      Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan pada daerah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan, insfrastruktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut dapat menurunkan kekayaan daerah.
Seperti keuangan negara, keuangan daerah juga memiliki ruang lingkup yang keungan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola llangsung adalah APBD  dan barang-barang inventaris milik daerah, sedangkan keuangan daerah yang dipisahkan adalah BUMD. Di samping itu pengurusan akuntansi keuangan daerah juga dipisah menjadi dua, yaitu pengurusan umum dan usus (berkaitan dengan kewajiban perbendaharaan), seperti halnya pada keuangan negara. Pengurusan umum juga dibagi menjadi dua, yaitu otorisator dan ordonator. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, wewenang otorisator, ordinator, dan bendaharawan dipegang oleh kepala negara (gubernur, walikota dan bupati). Namun dalam pelaksanaanya, wewenang  tersebut dilimpahkan kepada asekwilda, kepala biro keuangan dan kepala bagian perbendaharaan, serta Bank Pmbangunan Daerah dan pegawai negeri sipil.
Keuangan daerah dikelola melalui manajemen keuangan daerah. Jadi, manajemen keuangan daerah adalah pengorganisasian dan pengelolaaan sumber-sumber daya atau kekayaan pada suatu daearah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki daerah tersebut dengan tata usaha daerah.
Menurut Mamesah (1995), tata usaha keuangan daerah dibagi menjadi dua golongan, yaitu tata usaha umum dan tata usaha keuangan. Tatata usaha umum mengangkut kegiatan surat-menyurat, mengagenda, mengekspedisi, menyipan surat-surat penting atau mengarsipkan, dan kegiatan dokumentasi lainnya. Dilain pihak tata usaha keuangan pada  intinya adalah tata buku yang merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis di bidang keuangan bedasarkan prinsip, standarisasi, dan prosedur tertentu sehingga dapat memberikan informasi aktual di bidang keuangan. Tata usaha keuangan atau tata buku inilah yang sering disebut akuntansi keuangan daerah, meskiput tidak tepat benar karena tata buku hanya merupakan sebagian kecil dari keuangan.
Di era reformasi keuangan daerah, tata buku dan tata usaha keuangan daearah tidak lagi memadai untuk dijadikan sebagai penghasil informasi yang dikehendaki oleh PP Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri. Nomor 29 Tahun 2002. Hal ini dikarenakan adanya:
1.      Keharusan membuat Laporan Aliran Kas dan Neraca (Pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000)
2.      Tuntutan pembuatan anggaran kinerja yang memerlukan informasi keuangan yang lebih mendetail daripada yang telah dihasilkan melalui tata buku (Pasal 8, 20, dan 21 PP Nomor 105 2000)
3.      Keharusan penerapan pusat pertanggungjawaban (penjelsan Pasal 20 Ayat 2) yang menurut adanya informasi mengenai pendapatan, biaya, dan investasiyang ketiganya tidak adapat dihasilkan oleh tata buku.
4.      Keharusan mengelola aset daerah dengan lebih baik (Pasal 35 dan 38 PP Nomor 105 Tahun 2000), dimana informasi mengenai penilaian aset ini tidak ada dalam tata buku keuangan daerah.
5.      Lampiran XXIX (tentang Kebijakan Akuntansi) dari Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 menekankan digunakan dasar kas modifikasi dlam pengakuan transaksi. Dasar kas modifikasian ini dapat dikatakan sebagai jembatan menuju penerapan dasar akrual yang digariskan oleh Pasal 70 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
G.    Kedudukan Akuntansi Keuangan dalam Manajemen Keuangan Daearah.
Pada bagian awal telah ddijelaskan bahwa manajemen keuangan daerah adalah pengorganisasian kekayaan yang da pada suat daerah untuk mencpi tujuan yang ingin dicapai daerah tersebut, sedangkan akuntansi keuangan daerah sering diartikan sebagai tata buku atau rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dalam bidang keuangan, berdasarkan prinsip, standarisasi, dan prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan.
Telah diuraikan pula bahwa tata usaha merupakan alat untuk melaksanakan manajemen keuangan daerah. Tata usaha terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tata usaha umum dan tata usaha keuangan. Akuntansi keuangan daerah sering disebut sebagai tata  usaha keuangan tersebut. Jadi, berdasarkan dapat digambarkan kedudukan akuntansi keuangan daerah dalam manajemen daerah sebagai berikut:

Pengertian tentang manajemen keuangan daerah diatas merupakan sebagian dari beberapa pengertian manajemen keuangan daerah yang ada.salah satu penertian manajemen keuangan daerah, selain pengertian diatas, adalah definisi manajemen keuangan daerah sebagai usaha yang dilakukan manajer, yaitu pemda dalam membelanjakan dana yang dimiliki daerah sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tersebut serta untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaran tersebut. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian manajemen keuangan pemda menurut Coe (1989), yang meliputi hal-hal seperti:
1.      Rencana hasil anggaran belanja dan biaya.
2.      Laporan mengenai kwitansi dan pembayaran dari dana yang dianggarkan.
3.      Pembelian barang dan pelayanan.
4.      Penanaman modal
5.      Utang jangka pendek dan jangka panjang yang dibayar jatuh tempo sesuai perjanjian.
6.      Pengawasan.
7.      Kehilangan dan pertanggungjawaban yang benar tentang keuangan pada akhir tahun.
8.      Pemeriksaan transaksi keuangan secara resmi.
9.      Laporan yang diterima sesuai dengan kondisinya.
Bidang akuntansi yang membantu dalam kaitan melakukan usaha-usaha tersebut adalah akuntansi manajemen keuangan daerah, yaitu bidang akuntansi yang menghasilkan informasi untuk mengambil keputusan ekonomi oleh pihak internal entitas pemda (kabupaten, kota, dan provinsi).