A.
Pendahuluan
Akuntansi keuangan (pemerintahan) daerah di
Indonesia merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang
mendapat perhatian besar dari berbagai pihak semenjak reformasi tahun 1998. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya kebijakan baru dari pemerintah Republik
Indonesia yang “mereformsi” berbagai hal, termasuk pengelolaan keuangan daerah.
Reformasi tersebut wwalnya dilakukan dengan mengganti Undang-Undang (UU) Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dengan UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU Nomor 25 1999 yang menggantikan
UU Nomor 32 Tahun 1956 mengenai keuangan keuangan negara dan daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 tersebut berisi mengenai
perlunya dilaksanakan otonomi daerah sehingga UU tersebut sering disebut dengan
UU Otonomi Daerah. Otonomi Daerah adalah wewenang yang dimiliki daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang mendasari perlunya
diselenggarakan otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar
negeri. Kondisi di luar negeri mengidentifikasikan bahwa rakyan menghendaki
keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Dilain pihak, keadaan diluar
negeri menunjukkan semakin maraknya globalisasi yang menurut daya saing
pemerintah daerah (pemda). Daya saing pemda ini diharapkan akan tercapai
melalui peningkatan pemandirian pemda. Selanjutnya, peningkatan kemandirian
pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah.
Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah tersebut, maka perubahan yang cukup mendasar dalam mengelola
daerah, termasuk dalam manajemen atau pengelolaan keuangan daerah, dapat diduga
terjadi. Hal ini disebabkan karena manajemen keunagn daeah merupakan alat untuk
mengurus dan mengatur rumah tangga pemda.
Perkembangan reformasi terus berlanjut dengan
diterbitkan UU Nomor 32 Tahun 2004 sebagai perubahan dan penyempurnaan UU Nomor
22 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 sebagai
perubahan dan penyempurnaan UU Nomor 25
Tahun 1999. Akibatnya, sebagai konsekuensi, peraturan perundangan dibawahnya
juga harus disesuaikan. Perubahan manajemen keuangan daerah pada era pra dan
pascareformasi akan diuraikan dalam pembahasan berikut.
B.
Manajemen
Keuangan Derah di Era Prareformasi
Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah di era
prareformasi dilaksanakan terutama berdasarkan UU Nomor 25 Thaun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Derah. Pengertian Daerah adalah daerah tingkat I
yaitu profinsi dan daerah tingkat II yaitu kabupaten atau kotamadya. Di samping
itu, terdapat beberapa peraturan lain yang menjadi dasar pelaksanaan manajemen
keuangan daerah pada era prareformasi, antara lain:
1. Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggung Jawaban dan
Pengawasan Keuangan Daerah.
2. PP
Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusnan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan
Daerah dan Penyusunan APBD.
3. Keputusan
Mentri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 900-099 Tahun 1980 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah.
4. Peraturan
Mentri Dalam Negri (Permendagri) Nomor 2 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBD.
5. UU
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
6. Kepmendagri
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan usunan Perhitungan APBD.
Berdasarkan peraturan diatas, dapat
disilmpulakn beberapa ciri pengelolaan keuangan daerah di era prareformasi,
antara lain:
1. Pengertian
pemda adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1975).
Artinya tidak terdapat pemisahan secara kongkret antara lembaga eksekutif dan
legistatif.
2. Perhitungan
APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban mkepala daerah (pasal 33
PP Nomor 6 Tahun 1975).
3. Bentuk
laporan perhitungan APBD terdiri atas:
a.
Perhitungan APBD
b.
Nota Perhitungan
c.
Perhitungan kas dalam pencocokan antara
sisa perhitungan.
Dilengkapi
dilengkapi dnegan lampiran Ringkasan Perhitungan Pendapatab dan Belanja (PP
Nomor 6 Tahun 1975 dan Kepmendagri Nomor 3 Tahun 1999)
4. Pinjaman,
baik pinjaman pemda maupun pinjaman BUMD, diperhitungkan sebagai pendapatan
pemda, yang dalam struktur APBD, menurut Kepmendagri Nomor 903-057 Thaun 1988
tentang Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah, masuk
dalam pos Penerimaan Pembangunan.
5. Unsur-unsur
yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah pemda yang terdiri atas kepala
daerah dan DPRD, belum melibatkan masyarakat.
6. Indikator
kinerja pemda mencakup:
a.
Perbandingan antara anggaran dan
realisasinya
b.
Perbandinagn antara standar biaya dengan
realisasinya
c.
Target dan persentase fisik proyek
Hal ini
tercantum dalam penjabaran perhitungan APBD (PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara
Penyususnan Perhitungan APBD).
7. Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Perhitungan APBD, baik
yang dibahas DPRD maupun yang tidak
dibahas DPRD, tidak mengandung konsekwensi terhadap masa jabatan kepala daerah.
C.
Manajemen
Keuangan Daerah di Era (Pasca) Reformasi Periode 1999-2004
Era reformasi ditandai dengan pergantian dari Orde
Baru kepada Orde Reformai pada tahun 1998. Dalam manajemen keuangan daerah,
reformasi ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk merealisasikannyam
pemerintah pusat mengeluarkan dua peraturan yaitu UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Puat dan Daerah.
Setelah UU tersebut disahkan, pemerintah juga
mengeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan, di antaranya:
1.
PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana
Perimabangan.
2.
PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3.
PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman
Daerah.
4.
PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
5.
Surat Mentri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum
Penyusunan dan Pelaksanaan APBD tahun Anggaran 2001.
6.
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang
Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta
Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanaja Daerah, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan
Perhitungan Angggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
7.
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
8.
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
Berdasarkan peraturan-peraturan
tersebut, maanajemen keuangan daerah di era reformasi memiliki karakteristik
yang berbeda dari pengelolaaan keuangan daerah di era prareformasi, seperti:
1. Pengertian
daerah adalah profinsi dan kota atau kabupaten. Istilah pemda tingkat I dan II
sera kotamadya tidk lagi digunakan.
2. Pengertian
pemda adalah kepala daerah beserta perangkat lainnya. Pemda yang dimaksut
disini adalah bada eksekutif, sedang badan legislatifnya adalah DPRD (Pasal 14
UU Nomor 22 Tahun 1999). Jadi, terdapat pemisahan yang nyata antara lembaga
legislatif dan eksekutif.
3. Perhitungan
APBD menjadi satu dnegan pertanggungjawaban kepala daerah (Pasal 5 PP Nomor 108
Tahun 2000).
4. Bentuk
laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran terdiri atas:
a.
Laporan Perhitungan APBD
b.
Nota Perhitungan APBD
c.
Laporan Aliran Kas
d.
Neraca Daerah
Dilengkapi
dengan penilaian kinerja berdasarkan tolak ukur rencana strategi-renstra (Pasal
5 PP Nomor 108 Tahun 2000)
5. Pinjaman
APBD tidal lagi masuk dalam pos Pendapatan (yang menunjukkan hak pemda), tetapi
masuk dalam pos Peneriman (yang belum tentu menjadi hak pemda).
6. Masyarakat
termasuk dalam unsur-unsur penyusun APBD, selain pemda yang terdiri atas kepala
daerah dan DPRD.
7. Indikator
kinerja pemda tidak hanya mencakup:
a.
Perbandingan antara anggaran dan
realisasinya
b.
Perbandingan antara standar biaya dan
realisasinya
c.
Target dan persentase fisik proyek
tetapi juga
meliput standar pelayanan yang diharapkan.
8. Laporan
pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya
adalah Laporan Perhitungan APBD diabahas
oleh DPRD dan mengandung konsekwensi terhadap masa jabatan kepala daerah
apabila mengalami penolakan dari DPRD.
9. Digunakannya
akuntansi dalam pengelolaan daerah.
Diantara peraturan-peraturan
tersebut diatas, peraturan yang mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam
pengelolaan anggaran daerah (APBD) adalah PP Nomor 105/2000 dan Kepmendagri
Nomor 29 Tahun 2002. Perubahan mendasar tersebut adalah adanya tuntutan akan
akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran.
Secara umum, terdapat enam pergeseran dalam pengelolaan anggaran daerah, yaitu:
a.
Dari vertical
accountability menjadi harizontal
accountability.
Sebelum
reformasi keuangan daerah, pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran daerah
lebih ditujukan pada pemerintah yang lebih tinggi. Dengan adanya reformasi,
pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada rakyat melalui DPRD.
b.
Dari traditional
budget menjadi performance budget.
Proses
penyusunan anggaran dengan sistem tradisional menggunakan pendekatan
inkremental dan “line item” dengan
penekanan pada pertanggungjawaban setiap input yang dialokasikan. Reformasi
keuangan daerah menuntut penyusunan anggran menggunakan pendekatan
pertanggungjawaban tidak sekedar pada input, tetapi juga pada output dan outcome.
c.
Dari pengendalian dan audit keuangan, ke
pengendalian dan audit keuangan serta kinerja.
Pada era
prareformasi, pengendalian dan audit keuangan dan kinerja telah ada, namun
tidak berjalan dengan baik. Penyebab hal ini adalah karena sistem anggaran
tidak memasukkan kinerja. Pada era reformasi, karena sistem penganggaran
menggunakan sistem penganggaran kinerja, maka pelakssanaan pengendalian dan
audit keuangan serta kinerja akan menjadi lebih baik.
d.
Lebih menerapkan konsep value for money.
Penerapan konsep
value for money lebih dikenal dengan
konsep 3E (Ekonomis, Efisien, dan Efektif). Artinya dalam mencapai maupun
menggunakan dana, pemda dituntut selalu menerapkan prinsip 3E tersebut. Hal ini
mendorong pemda untuk selalu memerhatikan tiap rupiah dana yang diperoleh dan
digunakan.
e.
Penerapan konsep pusat
pertanggungjawaban.
Penerapan pusat
pertanggungjawaban dilakukan dengan memperlakukan:
i.
Dinas pendapatan sebagai pusat
pendapatan (revenue center)
Pusat pendapatan
adalah unit dalam suatu organisasiyang perstasinya diukur dari kemampuannya
dalam menghasilkan pendapatan.
ii.
Bagian keuangan sebagai pusat biaya (expense center)
Pusat biaya
adalah unit organisasi dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari
kemampuannya mengefisienkan pengeluaran
iii.
BUMD sebagai pusat laba (profit center).
Pusat laba
adalah unit dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari perbandingan
antara laba yang dihasilkan dengan infestasi yang ditanamkan dalam unit
organisasi tersebut.
f.
Perubahan sistem akuntansi keuangan
pemerintah.
Reformasi sitem
akuntasi keuangan pemda merupakan “jantung” dari reformasi keuangan daerah karena
sistem inilah yang akan menghasilkan outpu yang sesuai dengan PP Nomor 105
Tahun 2000. Sistem akuntansi keuangan pemerintahan selama ini berjalan
menggunakan sistem pencatatan tungggal (single
entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas (cash basis). Di era reformasi keuangan daerah, sistem pencatatan
yang digunakan adalah sistem ganda (double
entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas modofikasi (modified cash basis) yang mengarah pada
basis akrual. Basis kas modifikasian diatur dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun
2002, sedang basis akrual diatur dalam uu Nomor 1 Tahun 2004.
Sejalan
dengan perubahan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta perkembangan “politik” di lapangan, maka salah satu perubahan mendasar adalah
disejajarkannya posisi eksekutif dan legislatif di daerah. Hal ini ternyata
sangat penting guna kelancaran pengelolaan keuangan daerah secara menyeluruh.
Bentuk kesejajaran ini adalah legislatif tidak dapat begitu saja menjatuhkan
posisi kepala daerah karena mengelolaan APBD.
Salah
satu pergeseran pengelolaan APBD berdasarkan PP Nomor 105 Tahun 2000 dan
Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 serta aturan-aturan penerusnya (penggantinya) adalah timbulnya
perubahan sistem akuntansi keunagan pemerintahan. Inti dari perubahan ini
adalah tuntutan dilaksanakan “akuntansi” dalam pengelolaan keunagan daerah oleh
pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota, bukan “pembukuan” seperti yang
dilaksanakan selama ini. Hal ini disebabkan karena yang terjadi pada era
parareformasi adalah pembukuan yang belum bisa dikatakan akuntansi.
Sistem
administrasi keuangan daerah dikatakan belum akuntable karena penerimaan dan
pengeluaran dilakuakan oleh bendaharawan, sehingga kegiatan yang dilakuakannya
merupakan kegaiatan Perbendeharaan. Sedangkan bagian keuangan (pembukuan)
menangani masalah pembukuan. Pembukuan yang dilakuakn disini belum dapat
dikatakan akuntansi karena:
1.
Sistem pencatatan yang dilakukan masih
sangat sederhana, yaitu sistem tata buku tunggal
2.
Menggunakan dasar pencatatan kas (cash
basis) yang memiliki kelemahan
Di samping itu,
selama ini kegiatan perbendaharaan jauh lebih dipentingkan dibandingkan
pembukuan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kursus yang diadakan untuk para
bendaharawan daripada yang diadakan untuk tenaga pembukuan. Padahal, pembukuan
yang dilakukan dibagian inilah yang menangani proses “akuntansi” unruk
menghasilja output yang dikehendaki oleh reformasi keunagan daerah, terutama PP
Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002. Selanjutnya,
reformasi terus berlangsung dan perubahan kembali terjadi.
D.
Reformasi
Lanjutan Periode 2004-Sekarang
Sejalan dengan
diterbitkannya paket UU tentang Keuangan Negara , yakni UU Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Neagara,
dan UU Nomor 15 tentang Pemerikasaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
maka sebagai konsekuensinya adalah penyesuaian dan amandemen atas peraturan
perundangan sebelumnya. Dalam kaitan pemerintahan pengelolaan keuangan daerah,
maka diterbitkan UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun
1999. Selain itu muncul pula peraturan perundangan yang diamanatkan oleh UU
terdahulu, seperti PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan.
PP yang
berpayung hukum dengan uu yang telah diamandemen tentu harus menyesuaian dan
atau mengalami perubahan atau revisi. PP Nomor 105 Tahun 2000, misalnya diganti
dengan PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Begitu pula
dengan peraturan yang lebih teknis, seperti Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002,
diganti dengan dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Beberapa perubahan mendasar dalam peraturan
perundangan terbaru adalah dikenalkannnya kembali Bendahara Penerimaan dan
Bendahara Pengeluaran. Selain itu, pengelompokan jenis belanja lebih menekankan
pada belanja langsung dan belanja tidak langsung. Penegasan perlunya penyusunan
sistem akuntansi keuangan daerah juga merupakan salah satu perubahan. Selain
itu, penerapan konsep Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Multi Terms Expenditure Framework (MTEF)
merupakan perubahan yang dikehendaki mulai tahun anggapan 2009.
E. Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah atau Multi Terms Expediture
Framework
Kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) atau multi-term expenditure
framework (MTEF) merupakan konsep terbaik dalam pengelolaan keuangan publik
(public expenditure management/PEM) saat ini, khususnya di negara
berkembang yang memiliki kelemahan dalam manajemen keuangan publiknya. MTEF
mengintegrasikan kebijakan ekonomi makro dan fiskal dalam beberapa tahun
anggaran, dan menghubungkan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning),
dan penganggaran (budgeting) secara komprehensif.
1.
Tujuan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah atau Multi Terms Expenditure
Framework
Secara umum, tujuan multi-term expenditure framework (MTEF) adalah:
1.
Memperbaiki situasi fiskal secara makro, sehingga
dapat menurunkan defisit anggaran, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan lebih
rasional dalam menjaga stabilitas ekonomi.
2.
Meningkatkan dampak kebijakan pemerintah dengan cara
mengaitkan prioritsa dan kebijakan pemerintah dengan program-program yang
dilaksanakan
3.
Meningkatkan kinerja dan dampak program, salah satunya
dengan cara mengubah kultur birokrasi dari administratif ke manajerial
4.
Menciptakan fleksibilitas manajerial dan inovasi
sehingga tercapai rasio cost/output yang lebih rendah, peningkatan efektifitas
program/kebijakan, dan meningkatkan prediktabilitas sumberdaya.
Menurut World Bank (1998) tujuan MTEF adalah:
1.
Mengembangkan keseimbangan dalam kebijakan ekonomi
makro dan penegakan disiplin fiskal;
2.
Mengalokasikan sumberdaya sektoral secara lebih baik;
3.
Prediktabilitas anggaran yang lebih baik untuk setiap
urusan atau kewenangan;
4.
Akuntabilitas politik yang lebih baik untuk outcome
pengeluaran publik dalam suatu proses pembuatan keputusan yang legitimate;
5.
Menghasilkan pengambilan keputusan penganggaran yang
lebih kredibel.
World Bank (1998: 47-51) menyebutkan enam tahapan dalam MTEF, yakni:
1.
Pembentukan kerangka ekonomi makro dan fiscal: Tahap
ini dicirikan dengan pembentukan model ekonomi kamro yang dapat pemproyeksi
pendapatan dan pengeluaran dalam jangka menengah (multi-year);
2.
Pengembangan program-program sektoral, yang
dilaksanakan dengan melakukan: (a) kesepakatan atas objectives, outputs,
dan activities setiap sektor, (b) mereviu dan mengembangkan program dan
sub-program, dan (c) membuat estimasi kebutuhan biaya untuk masing-masing
program.
3.
Pengembangan kerangka pengeluaran sektoral, yakni
dengan menganalisis trade-off yang terjadi antar-sektor dan di dalam sektor
sendiri dan membangun konsensus terkait dengan pengalokasian sumberdaya dalam
jangka panjang (stratejik).
4.
Mendefinisikan alokasi-alokasi sumberdaya sektoral
dengan cara menentukan budget ceilings sektor untuk jangka
menengah (3-5 tahun).
5.
Penyiapan anggaran sektoral: program-program sektoral
yang bersifat jangka menengah didasarkan pada budget ceilings.
6.
Pengesahan MTEF secara politik, yakni melalui
pemaparan estimasi anggaran ke kabinet dan parlemen untuk disahkan.
2. KPJM/MTEF
dalam Pengelolaan Keuangan Daerah di Indonesia
Pasal 1 angka 33 Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 dan pasal 1 angka
35 Peraturan Menteri Dalam Negeri No13/2006 menyatakan: Kerangka Pengeluaran
Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan
pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif
lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat
keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam
prakiraan maju.
Prakiraan maju (forward estimate) adalah perhitungan kebutuhan dana
untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan
kesinambungan program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar
penyusunan anggaran tahun berikutnya. Konsep yang juga tidak dapat dipisahkan
adalah anggaran terpadu (unified budgeting), yang didefinisikan sebagai
penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk
seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan
pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi dana.
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat ditemukan beberapa hal penting
dalam KPJM, yakni:
1.
Penggunaan pendekatan penganggaran berdasarkan
kebijakan. Kebijakan dibuat untuk memecahkan masalah atau memenuhi suatu kebutuhan
yang teridentifikasi dan disepakati oleh pelaksana (eksekutif) dan lembaga
perwakilan (legislatif). Dalam pengelolaan keuangan daerah di Indonesia,
kebijakan ini disebut Kebijakan Umum APBD (KUA), yang dilengkapi dengan
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan harus disepakati dulu dalam
bentuk penandatanganan Nota Kesepakatan antara kepala daerah dan pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam persepktif lebih luas, klausul kebijakan
tentang pelaksanaan suatu program/kegiatan yang melebihi satu tahun anggaran
dicantumkan dalam Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
2.
Pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut
dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran. Tahun
anggaran dengan menggunakan durasi satu tahun kalender, yakni 1 Januari sampai
31 Desember, dipandang tidak selalu memadai untuk menampung kebutuhan daerah dalam
mencapai outcome dari suatu program/kegiatan. Untuk itu dimungkinkan
suatu program/kegiatan dilaksanakan melebihi waktu satu tahun anggaran.
3.
Implikasi biaya atau kebutuhan dana. Kebutuhan
biaya untuk pelaksanaan program/kegiatan yang melebihi waktu satu tahun harus
diestimasi sejak awal (bersifat indikatif). Hal ini secara implisit telah
diprediksi ketika target kinerja (outcome) yang hendak dicapai pada
akhir priode jangka menengah (multi-year) telah dapat ditentukan, baik
untuk akhir periode program maupun untuk masing-masing tahun pelaksanaan.
4.
Memastikan kesinambungan program dan kegiatan yang
telah disetujui. Hakikat dari penganggaran berbasis kinerja bukanlah
periode pelaksanaan anggaran, tetapi hasil (outcome) yang hendak
dicapai. Outcome merupakan solusi atas masalah/kebutuhan yang dihadapi
pemerintah dan/atau masyarakat, sementara periode anggaran adalah mekanisme
untuk memudahkan perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran.
Dengan demikian, kesinambungan pelaksanaan program/kegiatan selama beberapa
tahun anggaran merupakan keniscayaan untuk mencapai hasil (outcome) yang
telah ditetapkan.
5.
Menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya. Besaran
alokasi anggaran yang telah diestimasi sejak awal akan memudahkan dalam
penyusunan anggaran periode selanjutnya. Pencapaian tahun berjalan akan menjadi
dasar pengalokasian tahun mendatang.
6.
Terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna
melaksanakan kegiatan pemerintahan. Hal ini bermakna bahwa pelaksanaan
program/kegiatan dapat mencakup semua jenis belanja, yakni belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, dan belanja modal, yang dianggarkan dalam satu dokumen
yang sama. Pemda membuat aturan khusus terkait besaran, komposisi dan proporsi
jenis belanja yang dibutuhkan dalam suatu program/kegiatan.
F. Keuangan Daerah, Manajemen
Keuangan Daerah, dan Akuntansi Keuangan Daerah
Keuangan
daerah dapat diartikan sebagai “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, juga segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan
kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki atau dikuasai oleh negara maupun
daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan
perundangan yang berlaku” (Mamesah,1995). Dari definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Yang dimaksud dengan semua
hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah, seperti pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan
atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti dana alokasi umum
dan dana alokasi khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hal tersebut dapat
menaikkan kekayaan daerah.
2.
Yang dimaksud dengan semua
kewajiban adalah untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan pada
daerah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan, insfrastruktur,
pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut dapat menurunkan
kekayaan daerah.
Seperti
keuangan negara, keuangan daerah juga memiliki ruang lingkup yang keungan
daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang
termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola llangsung adalah APBD dan barang-barang inventaris milik daerah,
sedangkan keuangan daerah yang dipisahkan adalah BUMD. Di samping itu
pengurusan akuntansi keuangan daerah juga dipisah menjadi dua, yaitu pengurusan
umum dan usus (berkaitan dengan kewajiban perbendaharaan), seperti halnya pada
keuangan negara. Pengurusan umum juga dibagi menjadi dua, yaitu otorisator dan
ordonator. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, wewenang otorisator, ordinator, dan
bendaharawan dipegang oleh kepala negara (gubernur, walikota dan bupati). Namun
dalam pelaksanaanya, wewenang tersebut
dilimpahkan kepada asekwilda, kepala biro keuangan dan kepala bagian
perbendaharaan, serta Bank Pmbangunan Daerah dan pegawai negeri sipil.
Keuangan
daerah dikelola melalui manajemen keuangan daerah. Jadi, manajemen keuangan
daerah adalah pengorganisasian dan pengelolaaan sumber-sumber daya atau
kekayaan pada suatu daearah untuk mencapai tujuan yang dikehendaki daerah
tersebut dengan tata usaha daerah.
Menurut
Mamesah (1995), tata usaha keuangan daerah dibagi menjadi dua golongan, yaitu
tata usaha umum dan tata usaha keuangan. Tatata usaha umum mengangkut kegiatan
surat-menyurat, mengagenda, mengekspedisi, menyipan surat-surat penting atau
mengarsipkan, dan kegiatan dokumentasi lainnya. Dilain pihak tata usaha
keuangan pada intinya adalah tata buku
yang merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis di bidang keuangan
bedasarkan prinsip, standarisasi, dan prosedur tertentu sehingga dapat memberikan
informasi aktual di bidang keuangan. Tata usaha keuangan atau tata buku inilah
yang sering disebut akuntansi keuangan daerah, meskiput tidak tepat benar
karena tata buku hanya merupakan sebagian kecil dari keuangan.
Di era
reformasi keuangan daerah, tata buku dan tata usaha keuangan daearah tidak lagi
memadai untuk dijadikan sebagai penghasil informasi yang dikehendaki oleh PP
Nomor 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri. Nomor 29 Tahun 2002. Hal ini dikarenakan
adanya:
1.
Keharusan membuat Laporan
Aliran Kas dan Neraca (Pasal 38 PP Nomor 105 Tahun 2000)
2.
Tuntutan pembuatan anggaran
kinerja yang memerlukan informasi keuangan yang lebih mendetail daripada yang
telah dihasilkan melalui tata buku (Pasal 8, 20, dan 21 PP Nomor 105 2000)
3.
Keharusan penerapan pusat
pertanggungjawaban (penjelsan Pasal 20 Ayat 2) yang menurut adanya informasi
mengenai pendapatan, biaya, dan investasiyang ketiganya tidak adapat dihasilkan
oleh tata buku.
4.
Keharusan mengelola aset
daerah dengan lebih baik (Pasal 35 dan 38 PP Nomor 105 Tahun 2000), dimana
informasi mengenai penilaian aset ini tidak ada dalam tata buku keuangan
daerah.
5.
Lampiran XXIX (tentang
Kebijakan Akuntansi) dari Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 menekankan digunakan
dasar kas modifikasi dlam pengakuan transaksi. Dasar kas modifikasian ini dapat
dikatakan sebagai jembatan menuju penerapan dasar akrual yang digariskan oleh
Pasal 70 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
G. Kedudukan Akuntansi
Keuangan dalam Manajemen Keuangan Daearah.
Pada
bagian awal telah ddijelaskan bahwa manajemen keuangan daerah adalah
pengorganisasian kekayaan yang da pada suat daerah untuk mencpi tujuan yang
ingin dicapai daerah tersebut, sedangkan akuntansi keuangan daerah sering
diartikan sebagai tata buku atau rangkaian kegiatan yang dilakukan secara
sistematis dalam bidang keuangan, berdasarkan prinsip, standarisasi, dan
prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan.
Telah
diuraikan pula bahwa tata usaha merupakan alat untuk melaksanakan manajemen
keuangan daerah. Tata usaha terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tata usaha umum
dan tata usaha keuangan. Akuntansi keuangan daerah sering disebut sebagai
tata usaha keuangan tersebut. Jadi,
berdasarkan dapat digambarkan kedudukan akuntansi keuangan daerah dalam
manajemen daerah sebagai berikut:
Pengertian
tentang manajemen keuangan daerah diatas merupakan sebagian dari beberapa
pengertian manajemen keuangan daerah yang ada.salah satu penertian manajemen
keuangan daerah, selain pengertian diatas, adalah definisi manajemen keuangan
daerah sebagai usaha yang dilakukan manajer, yaitu pemda dalam membelanjakan
dana yang dimiliki daerah sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah
tersebut serta untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai
pengeluaran tersebut. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian manajemen
keuangan pemda menurut Coe (1989), yang meliputi hal-hal seperti:
1.
Rencana hasil anggaran
belanja dan biaya.
2.
Laporan mengenai kwitansi
dan pembayaran dari dana yang dianggarkan.
3.
Pembelian barang dan
pelayanan.
4.
Penanaman modal
5.
Utang jangka pendek dan
jangka panjang yang dibayar jatuh tempo sesuai perjanjian.
6.
Pengawasan.
7.
Kehilangan dan
pertanggungjawaban yang benar tentang keuangan pada akhir tahun.
8.
Pemeriksaan transaksi keuangan
secara resmi.
9.
Laporan yang diterima
sesuai dengan kondisinya.
Bidang
akuntansi yang membantu dalam kaitan melakukan usaha-usaha tersebut adalah
akuntansi manajemen keuangan daerah, yaitu bidang akuntansi yang menghasilkan
informasi untuk mengambil keputusan ekonomi oleh pihak internal entitas pemda
(kabupaten, kota, dan provinsi).