1.
Kode
Etik Profesional
1.1. Etika Profesional
Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau
moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang
menjelaskan tentang batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bisa atau
tidak bisa, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu.
Istilah kode etik kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu
diperhatikan oleh seorang profesional ketika menjalankan profesinya. Seperti
halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik yang
digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan
menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode
etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya
guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan
terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling
tinggi dari profesinya tersebut.
Fenomena akan keberadaan kode etik keprofesian merupakan hal yang menarik
untuk diperhatikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan besarnya tuntutan
publik terjadap dunia usaha yang pada umumnya mengedepankan etika dalam
menjalankan akifitas bisnisnya. Tuntutan ini kemudian direspon dengan antara
lain membuat kode etik atau kode perilaku. Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007)
menyebutkan kode etik sebagai dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang
terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan
organisasi. Sementara fungsinya adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis
yang tinggi dalam bisnis (kavali., dkk, dalam Ludigdo, 2007). Atau secara
prinsip sebagai petunjuk atau pengingat untuk berprilaku secara terhormat dalam
situasi-situasi tertentu.
1.2.
Permasalahan Etika
Terdapat dua faktor utama yang
mungkin menyebabkan orang berperilaku
tidak etis, yakni:
a. Standar etika orang tersebut berbeda dengan masyarakat
pada umumnya. Misalnya, seseorang menemukan dompet berisi uang di bandar udara
(bandara). Dia mengambil isinya dan membuang dompet tersebut di tempat terbuka.
Pada kesempatan berikutnya, pada saat bertemu dengan keluarga dan teman-temannya, yang bersangkutan
dengan bangga bercerita bahwa dia telah menemukan dompet dan mengambil isinya.
b. Orang tersebut secara sengaja bertindak tidak etis
untuk keuntungan diri sendiri. Misalnya, seperti contoh di atas, seseorang menemukan dompet berisi uang di bandara.
Dia mengambil isinya dan membuang dompet tersebut di tempat tersembunyi dan merahasiakan kejadian
tersebut.
Dorongan orang untuk berbuat tidak etis mungkin diperkuat oleh rasionalisasi yang dikembangkan sendiri oleh yang
bersangkutan berdasarkan pengamatan dan pengetahuannya. Rasionalisasi tersebut mencakup tiga hal sebagai
berikut:
a. Setiap orang juga melakukan hal
(tidak etis) yang sama. Misalnya, orang
mungkin berargumen bahwa tindakanmemalsukan perhitungan
pajak, menyontek dalam ujian, atau menjual barang yang cacat tanpa
memberitahukan kepada pembelinya bukan perbuatan yang tidak etis karena yang
bersangkutan berpendapat bahwa orang lain pun melakukan tindakan yang sama.
b. Jika sesuatu perbuatan tidak melanggar hukum berarti
perbuatan tersebut tidak melanggar etika. Argumentersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hukum yangsempurna harus
sepenuhnya dilandaskan pada etika.Misalnya,
seseorang yang menemukan barang hilang tidakwajib mengembalikannya kecuali
jika pemiliknya dapatmembuktikan bahwa
barang yang ditemukannya tersebutbenar-benar
milik orang yang kehilangan tersebut.
c. Kemungkinan bahwa tindakan tidak etisnya akan
diketahui orang lain serta sanksi yang harus ditanggung jika perbuatan tidak
etis tersebut diketahui orang lain tidak signifikan. Misalnya penjual yang
secara tidak sengajaterlalu besar menulis
harga barang mungkin tidak akandengan kesadaran mengoreksinya jika
jumlah tersebut sudah dibayar oleh pembelinya. Dia mungkin akanmemutuskan untuk lebih baik menunggu pembeli
protesuntuk mengoreksinya, sedangkan jika pembeli tidak menyadari dan
tidak protes maka penjual tidak perlumemberitahu.
1.3.
Kode Etik Profesi Auditor
Mukadimah prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa
dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi
yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini
meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan
keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan
itu sendiri meliputi delapan butir. Kedelapan butir pernyataan tersebut
merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut
:
a. Tanggung jawab profesi
Bahwa akuntan di
dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilakukannya.
b. Kepentingan
publik
Auditor harus menerima kewajiban untuk
bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan orang banyak,
menghargai kepercayaan publik, serta menunjukan komitmennya pada
profesionalisme.
c.
Integritas
Akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara
dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab
profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin.
d. Obyektifitas dan independensi
Seorang Certified
Public Accountant (CPA) harus mempertahankan obyektifitas dan
bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesional.
Seorang CPA dalam praktek publik harus independent dalam kenyataan dan dalam
penampilan ketika memberikan jasa auditing dan jasa atestasi lainnya. Prinsip
obyektifitas menuntut seorang CPA untuk tidak memihak, jujur secara
intelektual, dan bebas dari konflik kepentingan. Independensi menghindarkan
diri dari hubungan yang bisa merusak obyektifitas seorang CPA dalam melakukan
jasa atestasi.
e. Kompetensi dan kehati-hatian profesional
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa
profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau
pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten
berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
f. Kerahasiaan
Akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau
kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
g. Perilaku
profesional
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk
berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi
tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
h. Standar
teknis
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus
mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut
sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.
2.
Independensi
Profesi akuntan publik adalah profesi yang unik karena
dalam menjalankan tugas profesinya seorang akuntan publik harus bisa
menggunakan keahlian profesinya dengan tetap mempertahankan sikap independensi.
Berbeda dengan profesi lainnya yang harus mentaati perintah atau keinginan
pengguna jasa profesi karena imbalan yang diberikan, seorang akuntan publik
justru harus independen dalam melaksanakan audit dan saat memberikan hasil
laporan audit kepada klien meskipun ia dibayar oleh klien karena hasil laporan
audit ini tidak hanya digunakan oleh klien tetapi juga oleh pengguna laporan
keuangan auditan.
Independensi adalah suatu sikap mental yang bebas dari
pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain
(mulyadi, 2002). Independensi juga berarti bahwa auditor harus jujur dalam
mempertimbangkan fakta sesuai dengan kenyataannya. Artinya bahwa apabila
auditor menemukan adanya kecurangan dalam laporan keuangan klien maka auditor
harus berani mengungkapkannya bebas dari tekanan klien atau pihak lain yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan.
Carey dalam Mautz mendefinisikan
independensi akuntan publik dari segi integritas dan hubungannya dengan
pendapat akuntan atas laporan keuangan. Independensi
meliputi:
1. Kepercayaan
terhadap diri sendiri yang terdapat pada beberapa orang profesional. Hal ini
merupakan bagian integritas profesional.
2. Merupakan
istilah penting yang mempunyai arti khusus dalam hubungannya dengan pendapat
akuntan publik atas laporan keuangan. Independensi berarti sikap mental yang
bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada
orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam
diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
Independensi akuntan publik merupakan
dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik dan merupakan
salah satu faktor yang sangat penting untuk menilai mutu jasa audit. Independensi akuntan publik mencakup dua aspek, yaitu :
1. Independensi
sikap mental
Independensi sikap mental berarti adanya
kejujuran di dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya
pertimbangan yang obyektif tidak memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan
pendapatnya.
2. Independensi
penampilan.
Independensi penampilan berarti adanya
kesan masyarakat bahwa akuntan publik bertindak independen sehingga akuntan
publik harus menghindari faktor-faktor yang dapat mengakibatkan masyarakat
meragukan kebebasannya. Independensi penampilan berhubungan dengan persepsi
masyarakat terhadap independensi akuntan publik.
3. Independensi
praktisi (practitioner independence)
Selain independensi sikap mental dan
independensi penampilan, Mautz mengemukakan bahwa independensi akuntan publik
juga meliputi independensi praktisi (practitioner independence) dan
independensi profesi (profession independence). Independensi praktisi berhubungan
dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang
wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan
verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini mencakup
tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan progran, independensi investigatif,
dan independensi pelaporan.
4. Independensi
profesi (profession independence)
Independensi profesi berhubungan dengan
kesan masyarakat terhadap profesi akuntan publik.
1.
Kode
Etik Profesional
1.1. Etika Profesional
Etika secara harfiah bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau
moral. Etika secara terminologi kemudian berkembang menjadi suatu konsep yang
menjelaskan tentang batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bisa atau
tidak bisa, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu.
Istilah kode etik kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu
diperhatikan oleh seorang profesional ketika menjalankan profesinya. Seperti
halnya profesi-profesi yang lain, Akuntan juga mempunyai kode etik yang
digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan
menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode
etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya
guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan
terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling
tinggi dari profesinya tersebut.
Fenomena akan keberadaan kode etik keprofesian merupakan hal yang menarik
untuk diperhatikan. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan besarnya tuntutan
publik terjadap dunia usaha yang pada umumnya mengedepankan etika dalam
menjalankan akifitas bisnisnya. Tuntutan ini kemudian direspon dengan antara
lain membuat kode etik atau kode perilaku. Scwhartz (dalam Ludigdo, 2007)
menyebutkan kode etik sebagai dokumen formal yang tertulis dan membedakan yang
terdiri dari standar moral untuk membantu mengarahkan perilaku karyawan dan
organisasi. Sementara fungsinya adalah sebagai alat untuk mencapai standar etis
yang tinggi dalam bisnis (kavali., dkk, dalam Ludigdo, 2007). Atau secara
prinsip sebagai petunjuk atau pengingat untuk berprilaku secara terhormat dalam
situasi-situasi tertentu.
1.2.
Permasalahan Etika
Terdapat dua faktor utama yang
mungkin menyebabkan orang berperilaku
tidak etis, yakni:
a. Standar etika orang tersebut berbeda dengan masyarakat
pada umumnya. Misalnya, seseorang menemukan dompet berisi uang di bandar udara
(bandara). Dia mengambil isinya dan membuang dompet tersebut di tempat terbuka.
Pada kesempatan berikutnya, pada saat bertemu dengan keluarga dan teman-temannya, yang bersangkutan
dengan bangga bercerita bahwa dia telah menemukan dompet dan mengambil isinya.
b. Orang tersebut secara sengaja bertindak tidak etis
untuk keuntungan diri sendiri. Misalnya, seperti contoh di atas, seseorang menemukan dompet berisi uang di bandara.
Dia mengambil isinya dan membuang dompet tersebut di tempat tersembunyi dan merahasiakan kejadian
tersebut.
Dorongan orang untuk berbuat tidak etis mungkin diperkuat oleh rasionalisasi yang dikembangkan sendiri oleh yang
bersangkutan berdasarkan pengamatan dan pengetahuannya. Rasionalisasi tersebut mencakup tiga hal sebagai
berikut:
a. Setiap orang juga melakukan hal
(tidak etis) yang sama. Misalnya, orang
mungkin berargumen bahwa tindakanmemalsukan perhitungan
pajak, menyontek dalam ujian, atau menjual barang yang cacat tanpa
memberitahukan kepada pembelinya bukan perbuatan yang tidak etis karena yang
bersangkutan berpendapat bahwa orang lain pun melakukan tindakan yang sama.
b. Jika sesuatu perbuatan tidak melanggar hukum berarti
perbuatan tersebut tidak melanggar etika. Argumentersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hukum yangsempurna harus
sepenuhnya dilandaskan pada etika.Misalnya,
seseorang yang menemukan barang hilang tidakwajib mengembalikannya kecuali
jika pemiliknya dapatmembuktikan bahwa
barang yang ditemukannya tersebutbenar-benar
milik orang yang kehilangan tersebut.
c. Kemungkinan bahwa tindakan tidak etisnya akan
diketahui orang lain serta sanksi yang harus ditanggung jika perbuatan tidak
etis tersebut diketahui orang lain tidak signifikan. Misalnya penjual yang
secara tidak sengajaterlalu besar menulis
harga barang mungkin tidak akandengan kesadaran mengoreksinya jika
jumlah tersebut sudah dibayar oleh pembelinya. Dia mungkin akanmemutuskan untuk lebih baik menunggu pembeli
protesuntuk mengoreksinya, sedangkan jika pembeli tidak menyadari dan
tidak protes maka penjual tidak perlumemberitahu.
1.3.
Kode Etik Profesi Auditor
Mukadimah prinsip etika profesi akuntan antara lain menyebutkan bahwa
dengan seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga disiplin diri melebihi
yang disyaratkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku. Selain itu prinsip ini
meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan
keuntungan pribadi. Sementara itu prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan
itu sendiri meliputi delapan butir. Kedelapan butir pernyataan tersebut
merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Delapan butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut
:
a. Tanggung jawab profesi
Bahwa akuntan di
dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilakukannya.
b. Kepentingan
publik
Auditor harus menerima kewajiban untuk
bertindak sedemikian rupa agar dapat melayani kepentingan orang banyak,
menghargai kepercayaan publik, serta menunjukan komitmennya pada
profesionalisme.
c.
Integritas
Akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara
dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab
profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin.
d. Obyektifitas dan independensi
Seorang Certified
Public Accountant (CPA) harus mempertahankan obyektifitas dan
bebas dari konflik kepentingan dalam melaksanakan tanggung jawab profesional.
Seorang CPA dalam praktek publik harus independent dalam kenyataan dan dalam
penampilan ketika memberikan jasa auditing dan jasa atestasi lainnya. Prinsip
obyektifitas menuntut seorang CPA untuk tidak memihak, jujur secara
intelektual, dan bebas dari konflik kepentingan. Independensi menghindarkan
diri dari hubungan yang bisa merusak obyektifitas seorang CPA dalam melakukan
jasa atestasi.
e. Kompetensi dan kehati-hatian profesional
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa
profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau
pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten
berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
f. Kerahasiaan
Akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang
diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau
kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
g. Perilaku
profesional
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk
berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi
tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
h. Standar
teknis
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus
mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban
untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut
sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.
2.
Independensi
Profesi akuntan publik adalah profesi yang unik karena
dalam menjalankan tugas profesinya seorang akuntan publik harus bisa
menggunakan keahlian profesinya dengan tetap mempertahankan sikap independensi.
Berbeda dengan profesi lainnya yang harus mentaati perintah atau keinginan
pengguna jasa profesi karena imbalan yang diberikan, seorang akuntan publik
justru harus independen dalam melaksanakan audit dan saat memberikan hasil
laporan audit kepada klien meskipun ia dibayar oleh klien karena hasil laporan
audit ini tidak hanya digunakan oleh klien tetapi juga oleh pengguna laporan
keuangan auditan.
Independensi adalah suatu sikap mental yang bebas dari
pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain
(mulyadi, 2002). Independensi juga berarti bahwa auditor harus jujur dalam
mempertimbangkan fakta sesuai dengan kenyataannya. Artinya bahwa apabila
auditor menemukan adanya kecurangan dalam laporan keuangan klien maka auditor
harus berani mengungkapkannya bebas dari tekanan klien atau pihak lain yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan.
Carey dalam Mautz mendefinisikan
independensi akuntan publik dari segi integritas dan hubungannya dengan
pendapat akuntan atas laporan keuangan. Independensi
meliputi:
1. Kepercayaan
terhadap diri sendiri yang terdapat pada beberapa orang profesional. Hal ini
merupakan bagian integritas profesional.
2. Merupakan
istilah penting yang mempunyai arti khusus dalam hubungannya dengan pendapat
akuntan publik atas laporan keuangan. Independensi berarti sikap mental yang
bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada
orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam
mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif tidak memihak dalam
diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.
Independensi akuntan publik merupakan
dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik dan merupakan
salah satu faktor yang sangat penting untuk menilai mutu jasa audit. Independensi akuntan publik mencakup dua aspek, yaitu :
1. Independensi
sikap mental
Independensi sikap mental berarti adanya
kejujuran di dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya
pertimbangan yang obyektif tidak memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan
pendapatnya.
2. Independensi
penampilan.
Independensi penampilan berarti adanya
kesan masyarakat bahwa akuntan publik bertindak independen sehingga akuntan
publik harus menghindari faktor-faktor yang dapat mengakibatkan masyarakat
meragukan kebebasannya. Independensi penampilan berhubungan dengan persepsi
masyarakat terhadap independensi akuntan publik.
3. Independensi
praktisi (practitioner independence)
Selain independensi sikap mental dan
independensi penampilan, Mautz mengemukakan bahwa independensi akuntan publik
juga meliputi independensi praktisi (practitioner independence) dan
independensi profesi (profession independence). Independensi praktisi berhubungan
dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang
wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan
verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini mencakup
tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan progran, independensi investigatif,
dan independensi pelaporan.
4. Independensi
profesi (profession independence)
Independensi profesi berhubungan dengan
kesan masyarakat terhadap profesi akuntan publik.
0 comments:
Posting Komentar
tolong diisi yha . .