HAKIM DOLEANSI
Sebelum
reformasi perpajakan tahun 1983, telah dikenal upaya administratif, yakni “Hakim
Doleansi”. Doleansi atau keberatan diajukan oleh WP dalam hal terjadinya
sengketa antara WP akibat penetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus.
Pengaturan ini terdapat dalam Ordonansi Pajak Pendapatan (1944) ataupun
Ordonansi Pajak Perseroan (1925) dan peraturan perundang-undangan lain ketika
itu. Keberatan tersebut diajukan kepada instansi perpajakan sehingga upaya ini
lebih merupakan upaya administratif. Atas putusan Doleansi, Wajib Pajak (WP)
dapat mengajukan keberatan kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Menurut
Rochamat Soemitro, upaya hukum ini termasuk kategori Peradilan Semu atau Kuasi
Peradilan.
Padahal, yang
dikehendaki adalah adanya peradilan yang mandiri dalam arti sesungguhnya. Baik
Doleansi maupun MPP, secara nomenklatur lebih memperlihatkan sebuah upaya
administratif, padahal yang dikehendaki adalah keadilan bagi WP. Baru pada
reformasi perpajakan 1983 diintroduksikan adanya PP. Akan tetapi, untuk
merealisasikan PP itu, pembentuk UU masih menempuh jalan berliku karena melalui
UU Nomor 17 tahun 1997 ditetapkan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Sesungguhnya lembaga yang terakhir tak jauh berbeda dengan dua lembaga di atas.
Ironisnya melalui UU Peradilan Tata Usaha Negara tahun 1986 upaya yang ditempuh
WP dengan menggunakan sarana di atas dinyatakan sebagai upaya administratif.
Dengan
demikian, baik terhadap putusan MPP maupun BPSP dapat diajukan gugatan ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sehingga sudah dapat diduga penerimaan
negara dari sektor ini akan tersendat akibat WP masih melakukan upaya hukum.
Walau secara normatif dalam kedua UU terdapat penegasan bahwa pengajuan
keberatan tidak menunda wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan,
secara faktual justru wajib pajak terkadang mengajukan penundaan kewajibannya
karena masih melakukan upaya hukum. Diakui atau tidak, dalam proses ini
tindakan main mata antara pihak-pihak dapat terjadi, yang secara langsung atau
tidak langsung bernuansa suap atau bahkan korupsi.
Pada 2002
barulah PP direaliasasikan. Melalui UU No 14/2002. Sesungguhnya Pengadilan
Pajak (PP) ini merupakan bentuk peradilan khusus sebagaimana ditetapkan oleh UU
kekuasaan kehakiman. Kekhususan tersebut tidak lain karena bidang perpajakan
merupakan bidang khusus yang hanya dapat dipahami mereka yang mengerti seluk
beluk perpajakan sehingga hakim yang bertugas di PP adalah mereka yang punya
pengetahuan luas tentang pajak dan hukum pajak.
Pengadilan
Pajak memiliki kompetensi menyelesaikan sengketa pajak akibat dikeluarkannya
putusan dan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Hal ini berarti
kompetensi PP tidak overlapping
dengan badan peradilan umum. Yang digarap PP adalah masalah keberatan WP dalam
kedua hal di atas, bukan menyangkut penyimpangan atau tindak pidana korupsi di
bidang perpajakan yang menjadi kompetensi lembaga peradilan umum. PP merupakan
instansi pertama dan terakhir memeriksa dan memutus sengketa pajak. Ini untuk
mencegah WP beritikad buruk.
Terhadap hakim
PP, MA memiliki kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan. Persoalannya,
apakah pengawasan itu efektif dilakukan? Di situlah persoalannya. Semua kita
menghendaki agar aspek keadilan diwujudkan dalam bidang perpajakan karena
memang demikianlah undang-undang mengamanatkan.
0 comments:
Posting Komentar
tolong diisi yha . .