Minggu, 19 Februari 2012

Hakim Doleansi

HAKIM DOLEANSI
Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, telah dikenal upaya administratif, yakni Hakim Doleansi”. Doleansi atau keberatan diajukan oleh WP dalam hal terjadinya sengketa antara WP akibat penetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus. Pengaturan ini terdapat dalam Ordonansi Pajak Pendapatan (1944) ataupun Ordonansi Pajak Perseroan (1925) dan peraturan perundang-undangan lain ketika itu. Keberatan tersebut diajukan kepada instansi perpajakan sehingga upaya ini lebih merupakan upaya administratif. Atas putusan Doleansi, Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan keberatan kepada Majelis Pertimbangan Pajak (MPP). Menurut Rochamat Soemitro, upaya hukum ini termasuk kategori Peradilan Semu atau Kuasi Peradilan.
Padahal, yang dikehendaki adalah adanya peradilan yang mandiri dalam arti sesungguhnya. Baik Doleansi maupun MPP, secara nomenklatur lebih memperlihatkan sebuah upaya administratif, padahal yang dikehendaki adalah keadilan bagi WP. Baru pada reformasi perpajakan 1983 diintroduksikan adanya PP. Akan tetapi, untuk merealisasikan PP itu, pembentuk UU masih menempuh jalan berliku karena melalui UU Nomor 17 tahun 1997 ditetapkan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Sesungguhnya lembaga yang terakhir tak jauh berbeda dengan dua lembaga di atas. Ironisnya melalui UU Peradilan Tata Usaha Negara tahun 1986 upaya yang ditempuh WP dengan menggunakan sarana di atas dinyatakan sebagai upaya administratif.
Dengan demikian, baik terhadap putusan MPP maupun BPSP dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sehingga sudah dapat diduga penerimaan negara dari sektor ini akan tersendat akibat WP masih melakukan upaya hukum. Walau secara normatif dalam kedua UU terdapat penegasan bahwa pengajuan keberatan tidak menunda wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, secara faktual justru wajib pajak terkadang mengajukan penundaan kewajibannya karena masih melakukan upaya hukum. Diakui atau tidak, dalam proses ini tindakan main mata antara pihak-pihak dapat terjadi, yang secara langsung atau tidak langsung bernuansa suap atau bahkan korupsi.
Pada 2002 barulah PP direaliasasikan. Melalui UU No 14/2002. Sesungguhnya Pengadilan Pajak (PP) ini merupakan bentuk peradilan khusus sebagaimana ditetapkan oleh UU kekuasaan kehakiman. Kekhususan tersebut tidak lain karena bidang perpajakan merupakan bidang khusus yang hanya dapat dipahami mereka yang mengerti seluk beluk perpajakan sehingga hakim yang bertugas di PP adalah mereka yang punya pengetahuan luas tentang pajak dan hukum pajak.
Pengadilan Pajak memiliki kompetensi menyelesaikan sengketa pajak akibat dikeluarkannya putusan dan pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Hal ini berarti kompetensi PP tidak overlapping dengan badan peradilan umum. Yang digarap PP adalah masalah keberatan WP dalam kedua hal di atas, bukan menyangkut penyimpangan atau tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang menjadi kompetensi lembaga peradilan umum. PP merupakan instansi pertama dan terakhir memeriksa dan memutus sengketa pajak. Ini untuk mencegah WP beritikad buruk.
Terhadap hakim PP, MA memiliki kewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan. Persoalannya, apakah pengawasan itu efektif dilakukan? Di situlah persoalannya. Semua kita menghendaki agar aspek keadilan diwujudkan dalam bidang perpajakan karena memang demikianlah undang-undang mengamanatkan.

0 comments:

Posting Komentar

tolong diisi yha . .