Pancasila
sebagai falsafah negara merupakan landasan idiil dari pungutan pajak. Pancasila
yang bersifat kekeluargaan dan kegotong royongan sudah terjelma dalam peraturan
perpajakan. Pajak-pajak yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
untuk kepentingan masyarakat umum sudah nyata berdasarkan kegotong royongan dan
kekeluargaan. Gotong royong yang mengandung sifat secara bersama melakukan usaha atau
membiayai kepentingan umum, tanpa secara langsung mendapatkan imbalan tersimpul
dalam pengertian pajak. Rasa kekeluargaan menimbulkan pengertian dan
kesukarelaan pada setiap bangsa Indonesia untuk ikut serta dalam pembiayaan
untuk kepentingan umum. Pancasila mendapatkan penjabarannya dalam pajak-pajak,
Karena pajak itu tidak lain daripada penjelmaan kekeluargaan dan kegotong
royongan rakyat, dimana rakyat memberikan baktinya berupa uang dengan tiada
mendapatkan imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengluaran untuk kepentingan masyarakat umum, yang
akhirnya juga mencakup kepentingan individu.
PENJABARAN SILA PANCASILA DALAM PERPAJAKAN
Hubungan Sila Pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dengan pajak adalah bahwa pajak yang
dipungut oleh negara merupakan ciptaan manusia, tidak bertentangan dengan
ketuhanan, karena dalam alquran atau kitab suci lainnya, Tuhan juga memerintahkan manusia
untuk membayar zakat atau sepersepuluhan untuk digunakan bagi kepentingan orang-orang
yang miskin atau untuk kepentingan masyarakat umum tanpa mendapatkan imbalan
secara langsung.
Sila Kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, tersirat dalam segi yuridis dari
pajak. Pajak selain harus memenuhi keadilan juga harus sesuai dengan peradaban
manusia. Keadilan yang merupakan salah satu syarat yuridis dari pajak tercermin
dalam prinsip non-diskriminasi, prinsip daya pikul, artinya bahwa orang dalam
keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama, dan tidak dibenarkan
mengadakan perlakukan yang berlainan terhadapnya,tidak pandang bangsa,
golongan, aliran, ideologi dan lain sebagainya. Kemanusiaan artinya bahwa
perlakukan wajib harus secara manusiawi tidak boleh melanggar HAM dan harus
layak bagi manusia dan tindakan sewenang-wenang terhadap wajib pajak harus
dihindarkan.
Sila Ketiga, ‘Persatuan Indonesia’ dijabarkan dalam pajak-pajak karena
pajak merupakan sumber keuangan utama untuk mempertahankan persatuan yang telah
diproklamairkan, karena hidup suatu bangsa tergantung pada adanya pendapatan negara yang merupakan jiwa untuk
kelangsungan dan kesinambungan hidup bangsa.
Sila Keempat, ‘Kerakyatan Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan’, dimana hal ini tertera dalam pasal
23 ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa semua pajak untuk kegunaan kas Negara
berdasarkan UU. Kerakyatan mengandung arti bahwa rakyat ikut menentukan adanya
pungutan yang disebut pajak. Rakyat dalam ikut menentukan pajak-pajak tidak
bertindak secara langsung, melainkan melalui wakil-wakilnya dalam DPR yang
dipimpin secara langsung dan demokratis oleh rakyat sendiri.
Sila
kelima, ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, sudah terjabar dalam pajak-pajak.
Pajak merupakan suatu alat untuk pembiayaan masyarakat, yaitu untuk membiayai
pengeluaran untuk kepentingan masyarakat umum. Pembangunan yang sebagian besar dibiayai dari hasil pajak
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, tidak melihat apakah rakyat itu turut
membayar pajak atau tidak. Pemerataan pembangunan yang dibiayai oleh dengan
pajak dilaksankan melalui 8 jalur pemerataan:
1. Pemerataan kebutuhan pokok rakyat,
khususnya pangan, sandang, perumahan.
2. Pemerataan kesempatan memperoleh
3. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam
pembangunan khusunya generasi muda dan kaum wanita
4. Pemertaan penyebaran pembangunan di
seluruh wilayah tanah air
5. Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan
6. pendidikan dan pelayanan kesehatan
7. Pemerataan pembagian pendapatan
8. Pemerataan kesempatan kerja
9. Pemerataan kesempatan berusaha
2 comments:
terima kasih ilmunya
mantap.. terima kasih
Posting Komentar
tolong diisi yha . .